Pages

Subscribe

Monday, November 8, 2010

Surat Terbuka untuk Sultan Yogyakarta dan Pejabat Pusat serta Daerah BAG.2

 Surat Terbuka untuk Sultan Yogyakarta dan Pejabat Pusat serta Daerah BAG.2


Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurniaNya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Yunus [10] : 107).

Dan jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu. (QS. Al-An’am [6] : 17)

Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-An’am [6] : 18)

Katakanlah: "Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?" Katakanlah: "Allah." Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan Al Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya). Apakah sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di samping Allah?" Katakanlah: "Aku tidak mengakui." Katakanlah: "Sesungguhnya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah)." (QS. Al-An’am [6] : 19).

Banyaknya musibah di suatu negeri itu pertanda penduduknya bukan orang baik-baik. Dan ukuran baik itu adalah baik menurut Allah Ta’ala, yakni yang taat kepada-Nya. Allah menegaskan:

Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan. (QS. Hud [11] : 117).

Dengan demikian, perlu kita mengoreksi diri, banyaknya bencana dan musibah, bahkan bareng-bareng di berbagai tempat, bahkan pula beruntun di mana-mana, dapat dimaknakan bahwa penduduk negeri ini kondisinya belum mencapai sebagai orang-orang yang berbuat kebaikan yang sesuai dengan ajaran dari Allah Ta’ala.

Sementara itu terjadinya kerusakan tidak lain adalah akibat dari tangan-tangan manusia:

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. Ar-Rum [30] : 41).

Kalau kita menengok sejarah, kerusakan yang jelas-jelas dibuat oleh tangan manusia di antaranya sebagai berikut:

Penjajah Belanda yang beragama Kristen, dan mereka itu adalah minoritas di Nusantara, terbukti telah bercokol mencengkeramkan kuku-kukunya di Nusantara selama 350-an tahun dengan aneka pelanggaran dan pemerkosaan hak-hak sipil. Berapa ribu ulama yang telah dibantai dengan cara diadu domba.

Contohnya, di zaman Amangkurat I, pengganti Sultan Agung di Kerajaan Mataram Islam, di Jogjakarta, Amangkurat I mengadakan perjanjian dengan Belanda, lalu para ulama tidak setuju, maka dikumpulkanlah para ulama itu di alun-alun (lapangan) sejumlah 5.000-an ulama, lalu dibantai. Sejarahnya sebagai berikut:

Amangkurat I membantai ribuan ulama

Pembantaian terhadap umat Islam kadang bukan hanya menimpa umat secara umum, namun justru inti umat yang dibantai, yaitu para ulama. Pembantaian yang diarahkan kepada ulama itu di antaranya oleh Amangkurat I, penerus Sultan Agung, raja Mataram Islam di Jawa, tahun 1646.

Peristiwa itu bisa kita simak sebagai berikut:

‘Penyebaran Islam menjadi benar-benar terhambat dan sekaligus merupakan sejarah paling hitam tatkala Amangkurat I mengumpulkan 5000 sampai 6000 orang ulama seluruh Jawa dan membunuhnya seluruhnya secara serentak.’

Masalah ini ditegaskan lagi oleh Sjamsudduha pada halaman lain: ‘Penyebaran Islam pernah mengalami hambatan yang bersifat politis, yaitu adanya pergolakan intern dalam kerajaan-kerajaan Islam. Hambatan yang paling hebat dalam proses penyebaran Islam terjadi ketika Amangkurat I melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap lima sampai enam ribu ulama dan keluarganya. Penyebaran Islam di Jawa mengalami stagnasi untuk beberapa lama karena kehabisan muballigh, dan perasaan takut.’

Dibantainya lima ribu sampai enam ribu ulama itu adalah masalah yang sangat besar. Sumber yang lain menyebutkan:

‘Amangkurat I, juga terkenal dengan nama Amangkurat Tegal Arum atau Tegal Wangi (karena mangkat di tempat tersebut) ialah putera Sultan Agung; naik tahta Mataram (1645) sebagai pengganti ayahnya. Berlainan dengan Sultan Agung yang bijaksana, Amangkurat I pada waktu hidupnya membuat beberapa kesalahan dan sebagai tanda kelemahan ia mengadakan perjanjian perdamaian dengan Kompeni Belanda (1646). Tindakannnya ini ditentang oleh beberapa golongan, di antaranya para alim ulama, sehingga mereka ini disuruh bunuh.’

Peristiwa besar berupa pembantaian terhadap ribuan ulama itu tidak terjadi kecuali di belakangnya ada penjajah Belanda yang menyetir Amangkurat I. (lihat buku Hartono Ahmad Jaiz, Mengungkap Kebatilan Kyai Liberal Cs, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2010, halaman 150-151).

Perkara membunuh orang mu’min, jelas sangat berat. Karena Allah Ta’ala telah berfirman: Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu'min dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya. (QS. An-Nisaa’ [4] : 93).

Bagaimana pertanggungan jawabnya di hadapan Allah Ta’ala, ketika yang dibunuh itu ribuan ulama?

Betapa dahsyatnya. Namun, ternyata masih ada pula yang tidak kalah dahsyatnya, ketika yang dibunuh itu bukan orangnya tetapi keimanannya, diarahkan kepada kemusyrikan dengan aneka cara dan bentuk, termasuk diantaranya memberi persembahan kepada roh atau apapun yang dianggap menyelamatkan atau ditakuti bahayanya, yang sifatnya gaib. Allah Ta’ala menegaskan: Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. (QS. Al-Baqarah [2] : 217).

Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. (QS. Al-Baqarah [2]: 191).

Imam Subki berkata, bahwa asal lafal fitnah itu adalah menimpakan bala’ dan ujian, maka tafsiran ayat Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh adalah: Dan menimpakan bala’ kepada orang mukmin mengenai agamanya sehingga ia kembali menjadi musyrik kepada Allah setelah Islamnya adalah lebih besar dosanya dan lebih berbahaya daripada membunuh (orang yang) dalam keadaan masih tegak di atas agamanya, memegangi keyakinannya, lagi membenarkannya. Sebagaimana riwayat dari Mujahid (Tabi’ien) dalam Firman Allah Ta’ala Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh, ia berkata: mengembalikan orang mukmin kepada berhala (kemusyrikan) itu lebih besar dosanya daripada membunuh.

Dan dari Qatadah, mengenai Firman Allah Ta’ala Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh, ia berkata: Kemusyrikan itu lebih besar dosanya daripada membunuh. (Fatawa As-Subki juz1 halaman 35).

Menugasi bahkan mengerahkan manusia untuk mempersembahkan sesaji, entah itu disebut larung laut, labuh ini itu di gunung, sedekah bumi, tumbal untuk jembatan, bangunan, sembelihan untuk disajikan bagi roh kubur , punden, dan aneka bentuk semacamnya adalah perbuatan yang diancam oleh ayat tersebut. Dan itu tidak kalah dahsyatnya dibanding yang menimpakan bala’ kepada orang mu’min sampai membunuhi ribuan ulama itu.

Dengan demikian, siapapun yang ingin dirinya selamat di akherat kelak, mesti sangat hati-hati dan menghindari jauh-jauh dari perbuatan yang sangat berbahaya bagi keimanan dan keselamatan di akherat itu.

Meneruskan upacara atau perbuatan yang telah diancam oleh Allah Ta’ala, berarti merugikan diri sendiri dengan serugi-ruginya. Sebaliknya menyudahi, menghentikan, bahkan mencegahnya dan bertaubat darinya, adalah perbuatan yang insya Allah mengakibatkan selamat di hadapan Allah Ta’ala kelak.

Orang yang bijaksana adalah orang yang mampu mengoreksi dirinya.

Dari Syaddad bin Aus dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam beliau bersabda: "Orang yang cerdas adalah orang yang memperhitungkan dirinya dan beramal untuk hari setelah kematian, sedangkan orang yang bodoh adalah orang yang jiwanya mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah." (Hadits Riwayat At-Tirmidzi 2383, dia berkata: Hadits ini hasan, dan riwayat Ibnu Majah, dan Ahmad).

At-Tirmidzi berkata: Maksud sabda Nabi saw: "Orang yang memperhitungkan dirinya" yaitu orang yang selalu mengoreksi dirinya pada waktu di dunia sebelum dihisab (diperhitungkan) pada hari Kiamat.

Apa yang dikemukakan ini agaknya serasi pula dengan unen-unen tiyang Jawi (kata-kata orang Jawa), titenono tembe mburine, bakal ngunduh wohing pakerti… (waspadailah dan ingatlah akibat belakangnya, kelak akan mengunduh buah kelakuan…).

Jakarta, November 2010/Dzulqa’dah 1431H
Nuwun (hormat saya):
Hartono Ahmad Jaiz
Penulis Buku: Islam dan Al-Qur’an pun Diserang.

sumber : www.eramuslim.com

http://www.eramuslim.com/suara-kita/...rta-daerah.htm

Surat Terbuka untuk Sultan Yogyakarta dan Pejabat Pusat serta Daerah BAG.2

0 comments:

Post a Comment